Ketika Mamah Mager Bergerak

Kesehatan menjadi hal yang terasa sangat berharga terutama di masa pandemi seperti sekarang ini. Banyak hal yang dilakukan demi menjaganya. Masker dan hand sanitizer menjadi barang wajib ketika keluar rumah. Stok sabun cuci tangan menjadi lebih cepat habis dari sebelumnya. Berjemur mulai menjadi agenda rutin banyak orang. Minuman herbal yang konon katanya meningkatkan imunitas pun mulai tenar, mulai dari jamu,  wedang empon-empon,  sampai madu hangat ditambah perasan lemon.

Semangat berolahraga masyarakat pun meningkat. Terbukti dengan naiknya harga sepeda di masa awal pandemi karena permintaan yang melonjak.

Sebagai anggota mamah mager alias malas gerak, berolahraga merupakan tantangan terbesar bagi saya. Rasanya kerjaan domestik di rumah saja sudah membuat lelah. Sampai akhirnya, suami berinisiatif membelikan sepeda untuk istrinya.

Ditambah,  akhir tahun lalu komunitas Mamah Gajah Berlari (MGB)  membuat challenge untuk bergerak minimal empat jam dalam seminggu. Setiap pekannya, panitia membuat report pencapaian dari para pesertanya. Ada peringkat dan ada pula hadiah yang akan diundi untuk peserta yang berhasil menyelesaikan tantangan. Meski mager, saya berbakat ambisius seperti mamah gajah pada umumnya ... hahaha. Jadilah ikut tantangan tersebut. 

Alhamdulillah, akhirnya berubah status juga menjadi mamah ager (agak gerak).  Sampai berjalan untuk membeli cabai ke warung saja sengaja memilih rute yang memutar supaya jauh. Tak lupa,  mengaktifkan aplikasi strava agar terekam pergerakannya ... hahaha.

Saat ini,  alhamdulillah, saya mulai terbiasa berolahraga. Badan pun terasa lebih prima. Jika tidak bisa keluar rumah karena harus menjaga anak-anak, saya memilih menggunakan video dari youtube untuk panduan berolahraga di rumah.  Kanal Walk With Leslie menjadi salah satu favorit. Selain karena gerakannya yang mudah,  pakaian yang digunakannya pun cukup sopan sehingga aman jika terlihat anak-anak yang biasanya ikut ngerecokin ibunya.

Saya pun mulai suka bersepeda. Salah satu motivasinya adalah rasa bersalah kalau sepeda, hadiah dari suami, berujung terbengkalai. Terkadang bersama suami,  kami menjadwalkan bersepeda sebagai salah satu agenda berpacaran. Tentunya ketika anak-anak ada yang bisa menjaga di rumah. Ini juga semakin memotivasi saya. Setelah beranak tiga,  semakin sulit rasanya punya waktu berduaan.

Bersepeda di hari ulang tahun pernikahan.
Judulnya anniversary ride ke tempat akad.

Dua bulan ini,  kami tinggal di Indramayu untuk menemani suami yang sedang bekerja di kota mangga. Di sini,  agenda bersepeda pun menjadi agenda keluarga. Semua diboyong,  kak!  Gimana donk,  enggak ada yang bisa jadi tempat menitipkan anak di rantau mah ... hahaha. 

 konvoi

Tentu saja semakin menyenangkan bersepedanya. Jalanan Indramayu pun tak seramai di Bandung, sehingga kami berani untuk membawa anak-anak bersepeda keluar komplek perumahan. Terlebih tak jauh dari rumah kami ada pantai yang bisa dijadikan destinasi bersepeda. Anak-anak tentu senang sekali karena sudah lama tidak piknik. 


hidden gem di tengah pemukiman warga




Kami selalu berusaha sepagi mungkin sudah sampai di pantai supaya belum ramai. Setelah puas bermain air,  kami langsung pulang. Iya,  basah-basahan sambil bersepeda. Mandinya di rumah saja. Alhamdulillah, jam sembilan di Indramayu itu terasa seperti jam sebelas. Kurang lebih 20 menit perjalanan ke rumah dengan baju basah tetap terasa berjemur, tidak kedinginan, sehingga meminimalisir kemungkinan masuk angin ... hihihi. 

Salah satu cita-cita kami ketika pandemi usai nanti adalah bersepeda di dalam kampus ITB.  Sudah terbayang serunya bersepeda di jalanan kampus yang rindang dengan pepohonan, sambil bernostalgia dan bercerita pada anak-anak tentang masa-masa remaja ibu dan abinya. 

Semoga bisa segera terlaksana. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah