Black is Beauty (2)

"Nu ieu mah hideung nyalira, nya?"  Ujar seorang kerabat jauh saat lebaran tiba. Kalimat tersebut diarahkan kepada saya yang saat itu berusia sekitar enam tahun. Si anak kedua yang katanya berkulit gelap tidak seperti kakak dan adiknya. 

Menjadi anak tengah, konon katanya suka beda sendiri dengan yang lainnya. Entah mitos atau fakta. Pada kenyataannya, secara fisik memang saya cukup berbeda, terutama bagian warna kulit. Kakak dan adik berkulit putih seperti Mamah, sedangkan saya mewarisi kulit gelap Papah. 

Alhamdulillah,  Allah anugerahkan sifat cuek pada diri ini. Jadi,  saat ada komentar kurang enak seperti di atas, Anggun  kecil bisa menanggapinya dengan cukup santai dan tidak terlalu ambil pusing. Komentar-komentar bernada serupa pun pada akhirnya tertutupi dengan berbagai prestasi yang saya raih. 

"Wah,  hebat rangking satu!"
"Keren,  bisa ikutan olimpiade IPA!"
"Alhamdulillah,  nemnya besar bisa masuk sekolah favorit, ya!"

Namun,  kecuekan ini sedikit memudar ketika saya memasuki fase ABG (Anak Baru Gede). Fase ketika penampilan fisik adalah salah satu pendongkrak rasa percaya diri.

Saya ingat pernah suatu hari saya mandi cukup lama.  Menggosok semua badan dengan sabun berulang kali sambil berharap warna kulit ini akan luntur.  Tentu saja, harap itu tidak menjadi nyata. Sedikit kesal,  tapi ya mau bagaimana lagi kan?  Alhamdulillah,  saat itu enggak sampai kepikiran untuk berendam pakai b*yclin saja ... hahaha.

Tentu saja, saya juga sempat melirik produk perawatan kulit yang klaimnya memutihkan.  Namun,  mungkin karena saya yang kurang rajin atau memang klaimnya hanya sebuah hiperbola dalam iklan, kulit saya tidak seperti Santi yang akhirnya seputih Sinta.  (Yang hafal iklan ini berarti kita seangkatan.) 

Percaya diri saya baru sedikit meningkat ketika akhirnya ada seorang teman yang menyatakan cinta.  Eh ternyata, meski hitam,  ada yang naksir juga ya ... hahaha.

Semakin besar, saya pun menyadari kecantikan itu tak selalu berupa hal fisik saja seperti kulit putih,  badan langsing, atau rambut lurus.  Lebih dari itu,  kecantikan itu juga datang dari hati,  kepribadian, dan kepintaran. Alhamdulillah,  setelahnya saya bisa lebih percaya diri dan mensyukuri karunia Ilahi.

Dan ternyata, sejarah berulang terkait si anak tengah. Anak saya yang kedua seperti ibunya, berwarna kulit lebih gelap dibandingkan kakak dan adiknya.

Pengalaman kurang menyenangkan saat kecil dulu seharusnya memberi saya pelajaran bahwa rasa percaya dirinya harus ditumbuhkan sejak kecil. Sayangnya, saya malah lupa akan hal ini,  kemudian secara tidak sadar malah menyakiti perasaan anak sendiri terkait warna kulitnya. Kisahnya pernah saya tulis di sini

Ya,  saya,  ibunya yang menyakitinya,  bukan orang lain.  Kejadian tersebut membuat penyesalan mendalam bahkan sampai saat ini.  Namun, tentu banyak hikmah yang bisa diambil. Saya belajar memaafkan diri sendiri, belajar meminta maaf pada anak, dan bonding kami pun lebih erat.  

Saat ini,  kalau dia disinggung soal warna kulitnya, sudah bisa berkata, "mirip ibu kan yaa,  hitam manis." 

Alhamdulillah, betul, Kak! Black is beauty. 😊


Komentar

  1. Hihihi... Lucu teh gaya berceritanya 😄. Btw emang sebagai ibu tuh kita harus bisa membuat anak pede dengan dirinya apa adanya ya, dengan banyaknya orang yang suka asal ceplos ngomentarin fisik orang lain.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject