Memori di Tanah Suci (1)

Pertengahan tahun 2010, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan sebagai guru di satu sekolah swasta. Alasan utamanya karena saya berencana menikah di akhir tahun tersebut dan nantinya akan mengikuti sang calon yang tinggal di rantau. Siapa sangka waktu luang yang akhirnya saya punya, menjadi jalan rejeki untuk bisa berkunjung ke rumah-Nya. 

Ketika itu Bapak saya baru saja memiliki rejeki tambahan. Beliau ingin sekali kembali mengunjungi tanah suci setelah perjalanan hajinya tiga tahun sebelumnya. Kali ini, beliau ingin mengajak anaknya. Dari kelima anaknya, hanya saya yang saat itu leluasa untuk ikut serta. "Gun, umroh yuk!" ajaknya. Tentu saja dengan semangat 45, saya menyambut ajakan tersebut.

Pernah ada yang bilang, "Kunjungilah tanah suci, niscaya kau selalu ingin kembali." Ah, rupanya itu benar. Mungkin karena perjalanan ke sana merupakan perjalanan rohani, jadinya akan sangat berkesan di hati.

Masjid Nabawi yang Menawan Hati

13 Juli 2010 menjadi hari keberangkatan kami. Penerbangannya akan memakan waktu 8 jam. Penerbangan cukup panjang yang akhirnya tidak terlalu terasa karena memiliki teman seperjalanan yang aktif bercerita dan bertanya. Namanya Daffa, usianya 10 tahun.

"Teh, ini masih lama ga?"
"Teh, kita udah sampe mana?"
"Teh, kok di foto paspor, mukanya belum jerawatan?" (hahaha
"Teh, kok belum dikasih makan siang aja yaa?" (rupanya dia lapar

Rasanya seperti melepas rindu pada murid-muridku. Jadi, walau pertanyaannya tak selesai-selesai, saya tetap dengan senang hati menjawabnya.

8 jam yang seru bersama Daffa
Setelah tiba di bandara King Abdul Azis, Jeddah, kami melanjutkan perjalanan darat dengan menggunakan bis selama 6 jam menuju Madinah. Kami akhirnya sampai di Kota Nabi pada dini hari. Setelah istirahat sebentar, pemimpin rombongan mengajak kami untuk orientasi lapangan, meninjau jalur dari hotel menuju masjid yang alhamdulillah ternyata dekat sekali, sekitar 5 menit berjalan kaki. 

Lalu ... Dini hari itu, saya pun terpaku di depan sebuah bangunan yang amat megah nan luas. Walau langit malam gelap pekat, Masjid Nabawi tetap terang benderang dengan ribuan cahaya lampunya. Pelatarannya sangat luas dengan lantai marmer yang terlihat mengkilat. Menara-menaranya berdiri tegak ditemani puluhan payung raksasa yang sebagian terbuka, sebagian lainnya tertutup. 

Masjid Nabawi di kala malam
"Di ujung sebelah sana, ada kubah yang berwarna hijau, di bawah kubah itulah ada makam Rasulullah." kata pemimpin rombongan. Masya Allah, hati rasanya berdesir bisa berada sedekat ini. Rasanya masih tak percaya bisa sampai di tempat sejarah islam terukir.

Alhamdulillah bini'matihi tatimmussholihat

Masjid Nabawi di kala siang dengan payung yang terbuka



Kenangan Indah di Madinah

Banyak momen tak terlupakan saat berada di Madinah. Tinggal tiga hari di sana, akhirnya saya bisa sedikit memahami mengapa Rasulullah sangat mencintai kota yang satu ini. Suasananya tenang dan damai, terlebih adanya Masjid Nabawi yang menjadi jantung kota.

Di masjid ini juga ada satu tempat yang disebut Raudhah. Salah satu bagian dari masjid yang merupakan masjid asli nabi. Masjid tempat dulu nabi dan para sahabat membentuk majelis dan berdakwah. Rasulullah menyebut Raudhah ini adalah taman surga, salah satu tempat di bumi yang akan ditarik ke surga, insya Allah salah satu tempat mustajab untuk berdoa.

Pagi itu di waktu duha, saya dan rombongan akhwat bersiap berkunjung ke sana. Karena tempatnya yang cukup kecil dibandingkan Masjid Nabawi yang sangat luas, untuk masuk ke dalam Raudhah, akan ada antrian per negara. Namun, tetap saja walau sudah diatur seperti itu, kami masih berdesak-desakan.

Bedanya Raudhah dengan bagian lain dari Masjid Nabawi adalah karpetnya. Taman surga ini berkarpet hijau, sementara daerah lain di masjid ini karpetnya berwarna merah. Ketika sampai di bagian hijau, saya sempat kebingungan karena suasana yang hectic. Ditekan dari sini, didorong dari sana. Untuk memanjatkan doa secara khusyuk saja sulit, apalagi salat.

Alhamdulillah, Allah turunkan bantuan saat itu. Seorang ibu berkulit hitam berdiri di depan saya, menahan kerumunan orang-orang, membuka tempat, mempersilakan saya untuk salat dua rakaat. Di tengah suasana yang penuh tekanan dan rasa syukur karena bisa berada di masjid bersejarah ini, saya akhirnya salat dan berdoa sambil tersedu-sedu. Setelah selesai, sang ibu penolong tersenyum dan memeluk saya. Saya pun menangis di pelukannya. Ah hangat, seperti pelukan mamah, jazakillahu khoir, Bu. 

raudhah di tempat ikhwan lebih luas, Bapak saya sampai sempat memotokan karpetnya

interior Masjid Nabawi

Satu momen tak terlupakan lagi di Madinah hadir di malam terakhir saya di sana. Ketika itu, saya datang sedikit terlambat ke masjid untuk berjamaah isya. Jadi, saya mendapat tempat salat di pelataran masjid karena di dalam sudah penuh. Hari itu Madinah sangat berangin sejak pagi. Tak terduga, di saat kami baru saja melaksanakan rakaat pertama salat isya, hujan turun dengan derasnya.

Salat di pelataran masjid tanpa penutup tentu saja membuat badan basah kuyup. Tak saya sadari, air mata ikut turun saat itu, meski tak sederas air hujan. 

Pasalnya sejak awal kedatangan ke Madinah, saya dibuat terpukau dengan banyaknya jamaah yang selalu salat tepat waktu di Masjid Nabawi. Masjid yang sangat luas itu selaluuuu penuh, bahkan sampai pelatarannya. Malam itu dengan kepenuhan yang sama, di pelataran masjid, diguyur air hujan yang deras, ditampar dinginnya angin, ditemani suara petir yang beberapa kali menggelegar, diiiringi suara tangisan anak kecil yang ketakutan, semuanya tetap berdiri menegakkan tiang agama. Tak gentar hanya karena air, tak takut akan petir. Masya Allah ... Raga boleh dingin oleh air hujan, tapi jiwa terasa hangat menikmati indahnya iman. 

Alhamdulillah 'ala kulli hal.

Sampai Bertemu Lagi, Madinah!

Dan akhirnya karena sang hujan, malam terakhir di Madinah, saya habiskan dengan mencuci baju yang basah dan kotor oleh debu yang terbawa air hujan. 

Rasanya tiga hari terasa kurang tinggal di kota kesayangan nabi ini. Di sana kami sempat berkeliling juga ke Masjid Quba, mengunjungi kebun kurma, dan melewati pemakaman Baqi,  tempat para syuhada dimakamkan. Betah, sungguh masih betah. Namun, sudah tiba waktunya untuk berpisah. 

lovely Madinah

Pasar kaget di depan gerbang Masjid Nabawi setiap selesai waktu shalat

Masjid Quba


Perkebunan kurma

Kali ini, waktunya menunaikan ibadah yang menjadi tujuan utama kami membelah samudra yaitu umroh. Hari itu, selepas salat jumat, kami sudah mengenakan kain ihram. Rukun pertama umroh adalah mengambil miqat. Rombongan kami mengambil miqat di Masjid Bir Ali, 25 menit perjalanan darat dari Madinah. Masjid yang indah. Sayang, kami tak bisa berlama-lama di sana.

Setelah salat miqat, kami pun melafalkan niat untuk umroh, labbaik allohumma umrotan. Perjalanan pun dimulai. Perjalanan menuju rumah-Nya, pusat kiblat umat muslim sedunia, kota kelahiran Nabi Muhammad Shallallohu Alaihi Wa Sallam, Mekah Al Mukaromah. Perjalanan yang diwarnai dengan lafal talbiyah yang menggetarkan hati.

Labbaik allohumma labbaik
Labbaika laa syarika laka labbaik
Innalhamda wan ni'mata
Laka wal mulk
Laa syarika lak

Aku menjawab panggilan-Mu ya Allah
Aku menjawab panggilan-Mu
Aku menjawab panggilan-Mu
Tiada sekutu bagi-Mu,
Aku menjawab panggilan-Mu
Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan hanya milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu

Bismillah, Mekah...  Kami datang! 
***

Cerita di Mekah insyaAllah bersambung di part 2 ya. 

Tulisan ini disetorkan untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di Bulan Februari 2022 tentang pengalaman travel yang berkesan. Semoga tak hanya berkesan untuk saya saja, tapi juga buat para pembaca yaa.


 

Komentar

  1. Senengnya dapat kesempatan ke tanah suci dengan cara yang tak terduga ya Gun.

    BalasHapus
  2. Asiik akhirnya membaca tulisan Mamah Anggun lagi. :)

    Wah masya Allah, ikut terharu membacanya, Anggun. Tiga kali saya membaca tulisan para Mamahs mengenai pengalamannya saat sedang di Mekah dan Madinah, Mba Tria, Mba Dewi, dan Anggun. Makin kepingin untuk bisa berkunjung ke sana. Insha Allah, semoga DIa memberikan saya kesempatan itu :)

    Btw kisah Anggun dan Daffa yang banyak nanya-nanya itu mengingatkan saya dengan filmnya Ice Cube, yang judulnya "Are We There Yet?" ehehehe. Nanya nanya terus nyampenya kapan selama perjalanan. Tapi karena Anggun adalah seorang guru, sudah luwes dan malah seneng ya pastinya meladeni anak kecil :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin.. InsyaAllah nanti ada kesempatan bisa berkunjung ke tanah suci juga yaa teh uril

      Hapus
  3. Aduh irinya aku teh :') semoga bisa menyusul juga ke sana

    BalasHapus
  4. barakallah teh Anggun ... kisah di tanah suci selalu menyentuh hati dan bikin kangen ...
    salam jalan-jalan

    BalasHapus
  5. Masya Allah Teh Anggun, saya ga bisa bayangin suasana sholat di Masjid Nabawi di tengah hujan, dan semua orang tetap tegak berdiri, mengharukan pastinya.

    Bikin kangen ni baca cerita-cerita tanah suci, semoga kita semua bisa dipanggil kesana

    BalasHapus
  6. Cerita berkesan emang ga bisa kalau cuma 1 bagian aja ya, apalagi sambil ibadah begini. Untung diingetin MGN buat nulis cerita perjalanan yang berkesan begini ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benerrr. Tapi ini bikin sambungannya ko jadi mager, mungkin harus pake tantangan lagi πŸ˜‚

      Hapus
  7. Masya Allah memang benar pasti ingin kembali ke tanah suci. Semoga berkesempatan kmbali lagi kesaba aamiin. Duh jadi terharu. Salam kenal tetehπŸ€—

    BalasHapus
  8. Masya Allah teh .. kita umroh di tahun yang sama hanya beda bulan aja. Aku Februari 2010. Merindinggg bacanya. Hiks jd kangen ingin kembali lagi.. sayang dokumentasiku hilang. Makasih teh udah post ini, jadi napak tilas lagi

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah