Si Pemuda Panada

Mendung menggelayut di langit Bandung pagi ini. Angin dingin berhembus melewati sela-sela amfiteater menerpaku yang sedang merasa kesepian. Aku, seperti biasanya, berdiri tegak di bagian barat kampus ini. Sejak dulu, tak berubah. Hanya suasananya yang kini berbeda. 

Dulu, hari-hariku selalu ramai, diwarnai langkah-langkah kaki menuju tempat kuliah, celotehan para mahasiswa, suara dosen mengajar, keluhan korban yang mendapat kuliah di lantai tiga pada jam tujuh pagi, suara kepanikan seseorang yang tersesat salah belok menuju kelas tujuannya, ditambah lagi suara ibu kantin  yang sedang marah-marah karena ada mahasiswa yang salah menempatkan uang bukan di baki pembayaran untuk membayar nasi hainan terenak sekampus raya.

Namun kini, sepi sunyi saja yang terdengar di sini. Hanya ada ruangan yang kosong, lantai yang berdebu, dan dinding dingin yang mulai melapuk. Puluhan purnama kulewati dalam kesendirian. Semuanya mendadak hilang seperti ditelan bumi. Tak ada lagi kegiatan di sini. Hanya satu atau dua orang saja yang kadang melewatiku atau membersihkanku sekadarnya agar tak terlalu berdebu. Kurindukan semua keramaian yang dulu menemaniku. 

Namun, hari ini Tuhan mendatangkan tamu. Ada yang datang. Seorang bapak paruh baya memakai masker berjalan gontai ke arahku. Matanya sendu, menatapku penuh rindu. Walau hanya matanya yang terlihat jelas, rasanya aku kenal tatapan itu. 

Ah iya, dia adalah si pemuda panada. Tak salah lagi, walau kini rambutnya mulai memutih, badannya lebih besar dibandingkan dulu, aku kenal raut penuh cinta itu. Masih kuingat lamat-lamat suaranya di satu siang, 25 tahun yang lalu. 

***

“Ben, muter yok!" kata Aldi.  

“Hah, ke mana?" tanya Beni

“Si eta kuliahna di 9103, muter dikit lah kita.” ujarnya sambil bermain mata penuh kode kepada Beni. 

“Hahaha... Hayu lah, demi maneh, urang rela.”1

Mereka berdua yang seharusnya turun ke lantai dasar, kembali menaiki tangga, berjalan memutar ke arah timur gedung, lalu bersiap turun kembali.

“Kela… kela… aya cileuh teu?”2 tanya Aldi berhenti berjalan sambil memperlihatkan muka ke arah temannya. 

“Biasana jarawat sagede bisul ge teu paduli, ayeuna ku cileuh wae riweuh.”3 seru Beni.

“Setetes lah… papasan moal nya?”4 tanya Aldi ragu-ragu 

"Mun panggih nya jodo, mun henteu…  nya tarimakeun weeeh.”5 Sebuah petuah bijak dilontarkan Beni yang membuat Aldi berkata dalam hati, “Sing jodo.”6

Mereka berdua pun menuruni undakan tangga terakhir di samping ruang 9103. Setengah turunan, mata Aldi menangkap sesosok gadis yang dicarinya, sedang duduk manis di depan pintu ruang kelas. Kakinya diselonjorkan sambil memangku dus kue, ciri khas tim danus kampus. Matanya terpaku pada layar telepon genggam di tangannya. Hari ini kerudungnya berwarna merah muda dipadukan dengan tunik putih dan celana jeans. Ah, manis sekali. Jantung Aldi mendadak berdetak lebih cepat.  

Rupanya Tuhan berbaik hati, tanpa Aldi harus galau menyapanya atau tidak, gadis manis itu menoleh, menangkap sosoknya, kemudian berdiri menghampiri. 

 

“Hey Aldiii, Benii …” sapanya.

“Eh Sari, kuliah di sini?” tanya Aldi pura-pura kaget. Andai Beni tega, sudah dia sundul kepala si Aldi yang sedang akting. Namun, Beni akhirnya memilih pura-pura tidak tahu dan mengejek dalam hati atas nama kesetiakawanan.

“Iya, baru keluar nih. Eh beli dooonk ini kuenya!” pinta sang gadis tiba-tiba sambil menyodorkan kotak kue. Aldi gelagapan merogoh semua saku celananya. Lembar terakhir yang ada di saku, ia keluarkan.

“Mmm … mau satu deh, panada.” katanya sambil memilih. 

“Asiiik …” ujar sang gadis riang. Ia mengeluarkan satu panada dari dus kue bawaannya dan menerima uang dari pembelinya. 

“Ngedanus buat apaan, Sar?” tanya Beni. 

“Biasa lah acara himpunan. Tadi aku kesiangan, jadi ini kuenya masih banyak deh, hahaha …" ujar si gadis tertawa miris. 

Duh, melihat tawanya, hati Aldi tak karuan. Kerupuk kalah renyah, gula pun kalah manis. Panada dari Sari kini sudah berpindah ke genggamannya. Semoga kelak hati gadis ini juga.

 

“Eh dah dulu ya, aku ada kuliah lagi nih.” kata Sari buru-buru. 

“Di oktagon ya” Aldi keceplosan

“Iya, kok tau?” tanya sang gadis heran.

“Si Aldi mah hafal da kabeh jadwal kuliah mahasiswa. Geus siga ayat kursi, di luar kepala … hahaha.”7 ujar Beni sambil tertawa puas.

“Hahaha … dasar. Ya udah, duluan ya.”

“Perlu dianterin ga? Takut nyasar ke oktagonnya.” canda Aldi padahal modus supaya bisa lebih lama lagi bersama pujaan hati.  

“Tenang, udah hafal ko, kaya ayat kursi.” jawab Sari sambil tersenyum geli. 

Sial, pikir Aldi, tapi toh ia tertawa kecil juga. Dua pemuda itu menatap sang gadis berlalu. Kalau ini adalah komik, mata Aldi kini pasti sudah digambarkan penuh dengan hati dan di sekitarnya bunga warna warni berjatuhan. Ah, indahnya. 

 

Kemudian ia teringat sesuatu, “Ben …“

“Hemm … “

“Nginjem duit lah!”

“Har.. Ujug-ujug.”8 sahut Beni. 

“Ongkos balik urang geus jadi panada.”9 rajuk Aldi sambil menunjukkan si roti isi. 

“Lebok siah! Bayar tah damri make panada … hahaha.”10

Mereka pun tertawa berdua sambil berlalu menjauh dariku, menertawakan kelakuan konyol Aldi yang berkorban atas nama cinta.

 Aku ikut tersenyum melihat mereka. Memori 25 tahun lalu ini pun terpatri di ingatanku. 

*** 

Aldi di sini sekarang. Aldi yang mulai menua. Ia duduk sendirian di selasar tanggaku sambil menatap sekeliling, sepertinya sedang berusaha menggali kenangan.

Kemudian ia keluarkan dompetnya untuk mengambil satu foto di dalamnya. Ah, itu si gadis penjual kue. Setelah kejadian panada itu, beberapa kali aku melihat mereka berjalan bersama di sekitarku. Kadang beramai-ramai, seringkali berdua saja. Kadang mereka berjalan dalam diam, tapi seringkali penuh tawa dan canda. Setiap kali melihat mereka, aku selalu ikut tersenyum bahagia. Kebahagiaan itu memang menular, ya?  

Senyumku kembali mengembang melihat foto kebersamaan mereka yang dipegang Aldi. Ada dua anak di sisi kanan dan kiri keduanya. Rupanya kata-kata Beni menjadi doa yang terkabul, mereka berjodoh pada akhirnya.

Aldi menatap fotonya dalam-dalam, mengelus halus wajah kekasih hatinya. Setetes air mata tiba-tiba terlihat turun menyapa. Buru-buru ia menghapusnya sambil melihat sekeliling. Mungkin malu jika terlihat orang lain, tapi tanpa dia sadari aku sudah melihatnya. Aldi tak berkata apa-apa, tapi aku tahu yang dirasakannya. Kesepian yang dalam seperti yang aku rasakan. Kerinduan pada hadirnya orang yang biasa mengisi keseharian. 

Aldi duduk cukup lama menemaniku pagi ini. Entah apa sebenarnya yang dicarinya, udara segar atau kenangan untuk menguatkan. Pada akhirnya dia berdiri, menatapku cukup lama, sedikit tersenyum kemudian berlalu. 

Menatapnya yang berjalan menjauh, kubayangkan sedang menepuk bahunya sambil berkata, "Kau kuat Aldi, kita pasti bisa melalui ini!". Semoga ia bisa merasakannya. 

 

Aku yang setia menanti di ujung barat kampusmu


***

Footnote

1.    Ayo lah, demi kamu, aku rela, 

2.    Bentar … bentar. Ada kotoran mata enggak?

3.    Biasanya jerawat segede bisul saja tak peduli, sekarang kotoran mata malah bikin repot.

4.    Sedikit lah, bakal papasan enggak ya?

5.    Kalau bertemu ya jodoh, kalo enggak, terimakan saja.

6.    Semoga jodoh.

7.    Si Aldi mah hafal semua jadwal mahasiswa. Sudah kaya ayat kursi, di luar kepala.

8.    Eh … tiba-tiba.

9.    Ongkos pulang aku sudah jadi panada.

10.  Rasain lu, bayar saja damri pakai panada.

***

Cerita fiksi berlatar kampus gajah ini dibuat untuk menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog di bulan Maret. Ini ceritaku, mana ceritamu? 


Komentar

  1. Huhu sedih terakhirnya ya Teh, betul-betul semoga Aldi kuat.

    Nostalgia banget GKU lama ni, kuliah kalkulus jam 7 pagi di lantai 3 memang nightmare :)

    BalasHapus
  2. Aldi ... duh aku jadi ingat ada papah gajah ditinggal wafat istri tercinta yang juga mamah gajah, anaknya 2 masih kecil, jadi sedih teh Agitha ...
    Aku suka percakapan bahasa sundanya ... mewakili urang bandung euy he3 ...

    BalasHapus
  3. Ceritanya sedih ya Anggun :(. Berharap yang terbaik buat Aldi. Sari pun sudah di tempat yang indah. Yang tabah ya Pak Aldi.

    Saya suka sekali dengan cara Anggun fokus ke ruang kelas di GKU Lama dan aktivitas nge-danus jualan kue ehehe.

    Saya jadi inget, dulu pertama kali lihat teman sekelas pas TPB jualan kue. Teman saya tersebut nawarinnya begini, "Ehh beli dong, beli dong, buat bantuin nyokap gw".
    Saya kaget juga karena dia ini kalau ke kampus bawa mobil sendiri, yang keluaran terbaru pula wkwkwk.

    Dan kala itu, karena belum tahu masalah per-danus-an, saya menganggapnya itu betulan, mungkin buat bantu nyicil mobilnya atau apa gitu. Owalaah, sungguh polos.

    BalasHapus
  4. 'Kerupuk kalah renyah, gula pun kalah manis' aihh..coba diucapkan yaa.. siapa yg ga kelepek2 🤭

    Jaman saya, tim danus itu pada ngamen atau jualan di dago. Sekarang mah udah ga boleh kali ya.. 😅
    Nuhun ceritanya ya teh..

    BalasHapus
  5. Asik bacanya. Dengan dialog bahasa sunda, kahartos pisan, jadi lebih terjiwai rasanya. Sing kiat nya, Aldi...

    BalasHapus
  6. Cerita jajan pake duit damri itu kok asa pernah baca ya wkwkwk, itu kisah nyata sepertinya ya?

    Duh akhirnya sedih banget ya, semoga Aldi kuat

    BalasHapus
  7. Jadi, si Aku ini si gedung GKU? atau tangganya? Hehehee, bisa aja nih si aku memperhatikan tiap mahasiswa dan mahasiswi dan segala interaksinya. Saksi bisu yang tiba-tiba menjadi fiksi. Keren teh ceritanya!

    BalasHapus
  8. Sediihhhh ya teh ceritanya. Aduh ini mamah2 MGN pada jago2 banget sih bikin cerita yang mengaduk emosi�� ya cinta pertama, ya perpisahan, huhuhu...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah