Manisnya Sebuah Perjuangan

Kalau membahas tentang pendidikan,  saya termasuk yang memiliki privilege untuk menikmatinya tanpa kesulitan berarti. Meski harus mengalami tiga kali pindah sekolah saat SD karena mengikuti kepindahan orang tua,  saya selalu bisa bersekolah di tempat yang baik dan disediakan segala fasilitas pendukungnya oleh orang tua.

Berbeda dengan suami, untuk mengenyam pendidikan tinggi, beliau harus melalui perjuangan yang cukup berat dan panjang. Alhamdulillah, beliau memiliki pendukung utama yang selalu bersemangat ikut berjuang,  bapaknya.

Bapak mertua, qadarulloh, menjadi seorang yatim piatu sejak kecil. Ia harus berjuang mengumpulkan biaya sendiri untuk bersekolah. Hobinya adalah membaca, terutama tentang politik dan sejarah. Karena sulit mendapatkan buku, papan baca koran menjadi alternatif bacaannya.

Cita-citanya adalah masuk sekolah kejuruan. Sayangnya, uang yang berhasil dikumpulkan untuk biaya sekolah, hilang entah kemana saat beliau akan pergi mendaftar. Cita-citanya yang kandas ini akhirnya dititipkan pada anak laki-lakinya. 

Sejak anaknya kecil, Bapak sangat peduli perihal pendidikannya. Meski tidak memasukkan anaknya ke TK karena keterbatasan ekonomi, beliau selalu membesarkan hati sang anak dengan berkata,  "teu nanaon, diajar di bumi weh ku Apa."

Bapak serius akan hal ini. Suatu hari, beliau pulang dengan membawa papan tulis besar yang kemudian menjadi media sekolah-sekolahan di rumah. Usahanya tidak sia-sia. Sebelum memasuki SD, suami sudah lancar membaca, menulis,  dan berhitung.

Alhamdulillah saat bersekolah, prestasi suami pun cukup cemerlang. Beliau langganan menjadi juara kelas. Beliau pun aktif mengikuti perlombaan mewakili sekolah,  mulai dari lomba cerdas cermat sampai siswa teladan. Tentu saja rasa bangga Bapak pun membuncah. Hal ini terlihat dengan selalu hadirnya Bapak di setiap kesempatan anaknya mengikuti perlombaan. 

Saat memasuki SMP, suami bersekolah cukup jauh dari rumah.  Bapak dengan setia mengantarnya memakai sepeda. Sampai akhirnya, alhamdulillah terkumpul juga dana untuk membeli sepeda lain,  sehingga suami bisa memakai sepeda sendiri menuju sekolah. 

Menjelang SMA, suami sempat meminta untuk bersekolah di dekat rumah saja. Sekolah negeri favorit juga,  meski bukan urutan teratas. Alasannya sih karena jarak, tapi sebenarnya yang utama karena teman-temannya banyak yang berniat masuk ke sana juga, hahaha. Balada ABG, hobi mengikuti arus kemana teman pergi.  Bapak tentu menolak. Beliau bersikeras anaknya harus bersekolah di sekolah terbaik,  sekolah urutan teratas, walaupun jauh dari rumah.   

Cita-cita Bapak terpenuhi. Suami lulus masuk sekolah unggulan terbaik di Bandung. Hari itu, hari pertama suami menjadi murid SMA, Bapak terlihat dari kejauhan, duduk di atas sepedanya dengan bangga, menatap anaknya yang mengikuti upacara penerimaan siswa baru di sekolahnya.

Tidak usah ditanya, bagaimana bangganya Bapak ketika akhirnya anaknya menjadi mahasiswa institut yang katanya terbaik di Indonesia. Walaupun ternyata berjuang untuk lulus dari sana pun tidak mudah, terutama soal biayanya.  Bapak dan suami sangat bekerja keras untuk itu. Mencari beasiswa, rajin berjualan, ngajar privat sana-sini untuk bekal, bahkan seringkali sampai menginap di kampus supaya bisa menghemat ongkos pulang. Alhamdulillah, saat ini mereka berdua sudah bisa merasakan manisnya hasil dari sebuah perjuangan yang panjang.

Saya patut bersyukur diberi kemudahan dalam menuntut ilmu di bangku sekolah. Namun, kadang saya pun merasa iri (in a positive way) dengan banyaknya hikmah yang bisa suami rasakan dari perjuangannya berpayah-payah dalam bersekolah. Saat ini, koleksi ceritanya pun jadi lebih banyak dan seru buat dibagikan kepada anak-anak. Ibu kalah saing deh, hahaha.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject