this too shall pass

Ada satu momen kehidupan yang tak pernah saya lupakan di tahun 2015. Ketika itu, saya mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis disertai gejala batuk yang tak kunjung sembuh. Akhirnya setelah melalui serangkaian pemeriksaan medis,  saya pun divonis menderita penyakit TBC.

Rasanya campur aduk sekali saat itu. Lega karena akhirnya penyakitnya diketahui, sekaligus khawatir karena ternyata penyakitnya menular.

Namun, satu hal yang paling membuat patah hati adalah kenyataan bahwa suami dan anak-anak sebagai orang terdekat harus langsung dites mantoux saat itu juga untuk mengetahui adanya penularan atau tidak. Kata dokter, lebih cepat lebih baik. 

Suami berkata suntikannya sakit karena di bawah kulit. Anak-anak tanpa sounding terlebih dahulu harus ikut disuntik pula. Sakit,  kaget, dan takut bercampur jadi satu. Tangisan mereka membahana di rumah sakit saat itu. Saya hanya bisa memeluk pilu. 

Duh...  Maaf ya,  Nak!  Gara - gara ibu... . 

Setelahnya, jadi 72 jam terlama dalam hidup. Menanti hari hasil tes diperiksa oleh dokter dalam cemas. Setiap saat melihat bekas suntikan mereka membesar atau tidak. 

Penyesalan pun menghantui diri. Berkali-kali bertanya dalam hati, kenapa sih udah tahu batuk kok enggak pakai masker? Kenapa sih masih suka pakai satu alat makan? Kenapa sih kok malas untuk segera periksa ke dokter? Dan beribu kenapa yang lainnya. 

Maka hari itu, ketika akhirnya dokter menyatakan suami dan anak-anak tidak tertular, saya merasa luar biasa lega.  Alhamdulillah. 

Iya, menjadi penyebab dari penderitaan seseorang itu ternyata sungguh tidak nyaman. Apalagi jika orang tersebut adalah yang dicinta. Hal ini mungkin bisa dijadikan sebuah motivasi di tengah ujian pandemi kali ini. 

Satu tahun pandemi tentu membuat lelah lahir dan batin untuk semua. Pembatasan ruang gerak, kehilangan sesuatu atau seseorang yang berharga, menghilangnya kesempatan, dan mungkin banyak ujian lainnya.

Kebiasaan baru yang wajib dibiasakan juga mulai terasa melelahkan. Sama kok, saya juga mulai bosan mencuci semua barang setiap habis belanja, mulai pening dengan seabrek rutinitas sekolah daring,  dan mulai lelah dengan segala protokol kesehatan.

Apalagi mulai banyak pula yang abai. Nongkrong di kafe mulai biasa. Kumpul-kumpul tak lagi virtual. Masker cuma jadi pajangan. Padahal,  pandemi kan belum usai.

Jadi, saat lelah dengan segala keribetan dalam menjaga diri di tengah pandemi ini menghampiri,  melihat orang-orang tersayang mungkin bisa dijadikan motivasi. Sanggupkah kita menjadi penyebab mereka menderita saat kita abai dengan segala protokol kesehatan? Sanggupkah kita menanggung penyesalan saat menjadi sumber penyakit di tengah keluarga?

This is not over yet.  Setahun memang sudah berlalu dan kita bisa melaluinya,  Alhamdulillah. Namun, bertahanlah sedikit lagi. Tetap taat, tetap sehat. Jaga imun, jaga iman. This too shall pass, insya allah. Ingatlah, Allah bersama hamba-hambaNya yang sabar! 


Komentar

  1. Huhuhu... Insyaallah segera berakhir. 😔😔😔

    BalasHapus
  2. emang ujian kesabaran banget euy. mau keluar masih ragu, di rumah aja ga bisa. Saling menguatkan yaaaa

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject