Perantau Nusantara

Sejak kecil, Mamah saya tinggal di Garut.  Kota di Jawa Barat yang terkenal dengan dodol dan udaranya yang sejuk. Kali pertamanya tinggal di luar Garut adalah setelah menikah dengan Papah.

Papah adalah pegawai di salah satu BUMN yang wajib bersedia ditempatkan bertugas di seluruh Indonesia. Enggak tanggung-tanggung, penempatan perdananya adalah hampir di ujung timur nusantara.

Sebagai istri yang berbakti, Mamah mengikuti kemana suaminya merantau. Waingapu, pulau kecil di Nusa Tenggara Timur jadi rumah pertama mereka. Di pulau ini pula, lahir kakak saya, si anak pertama. 

Satu cerita dari mereka yang selalu saya ingat tentang perantauan perdananya adalah perjuangan dalam memasak ayam di sana. Ternyata di Waingapu, ayam itu dijual dalam kondisi hidup. Jadi, jika ingin tersaji menu ayam di meja makan, kudu merelakan waktu menyembelih, bahkan mencabuti bulunya sendiri.

Satu hari, saking rindunya, mereka berdua berniat bekerjasama mengolah ayam. Papah mengambil peran menyembelih. Proses mencabuti bulu akan dilakukan berdua. Ah, sungguh romantis, ya? Selanjutnya, proses memasak menjadi bagian Mamah.

Mungkin karena prosesnya yang cukup panjang, saat ayam sudah masuk panci untuk diungkep, sang koki ketiduran cukup lama. Saat terbangun, ayam pun sudah menjadi bubur. Eh, ga mungkin, ya? Ayam sudah hangus bersamaan dengan pantat panci yang mulai menghitam. Gagal sudah makan ayam goreng yang dirindukan.

Kalau diceritakan saat ini, kejadiannya menjadi lucu. Namun, saat itu perihnya sungguh menusuk, Jendral! Puk-puk Mamah dan Papah! 

Bertugas hampir lima tahun di NTT, dua tahun Mamah menemaninya di sana,  akhirnya Papah mendapat tugas kembali ke Pulau Jawa. Di Bogor, mereka akhirnya tinggal, hingga kemudian memiliki anak keduanya, yaitu saya.

Kembali ke Jawa dengan segala kemewahannya, tentu saja hal yang sangat mereka syukuri. Namun, rupanya perjalanan keliling nusantara belum berakhir. 

Kota ketiga yang dituju adalah Biak, Papua. Semakin ujung ya, Pemirsa! Di kota ini memori masa kecil saya cukup banyak dihabiskan. Kami tinggal di kompleks rumah dinas yang bersebelahan dengan perkampungan orang lokal. Tak jauh pula dari hutan. Pemandangan orang Papua yang berburu babi hutan cukup sering terlihat. Begitu pun ular yang beberapa kali mampir ke rumah. Sedikit horor, ya? Hahaha. 

Namun, ada satu yang paling seru, di belakang rumah kami adalah pantai. Pantai yang masih asli, belum terjamah wisatawan. Cukup sering kami menghabiskan sore di sana. 

Hampir setiap akhir pekan pula, kami habiskan berkeliling pantai-pantai cantik di pulau kecil ini bersama teman-teman Papah, para perantau lainnya. Kami bermain air, bakar ikan, makan bersama, dan menikmati keindahan alam yang disajikan. Kami menikmati apa yang ada di hadapan daripada mengeluh karena jauh dari kampung halaman.

Di Biak pula lahir adik saya, si anak ketiga. Iya, satu kota, satu anak. Sungguh produktif, ya? Hahaha. Untuk mengabadikan tempat lahirnya, adik saya pun diberi nama Ingga Bia Putri.

Tak berapa lama, setelah Ingga lahir,  Papah pun mendapat kesempatan bersekolah kembali di Bandung. Selesai bersekolah selama dua tahun, tugas selanjutnya menanti di kota Surabaya. Udah cape belum bacanya?  Tenang,  packing barang pindahannya dan ngurus surat pindah sekolah lebih cape, hahaha. 

Barulah setelah menikmati Surabaya dengan panasnya, tahu tek-nya, medok Jawa-nya, hingga tiga tahun lamanya,  akhirnya Papah kembali ke Bandung sampai usia pensiunnya. Oh, tentu saja, adik saya pun bertambah. Akhirnya, kami menjadi lima bersaudara.

Alhamdulillah, salah satu rejeki menjadi perantau nusantara ini adalah kami memiliki banyak teman di berbagai kota. Anak-anak Mamah pun jadi lebih mudah beradaptasi karena saking seringnya pindah sekolah. Qodarulloh, di masa depan rupanya menjadi bekal juga untuk saya. Setelah menikah, rupanya suami pun menjadi seorang perantau. 

Sepuluh tahun menikah dengannya, sudah empat kota di Pulau Jawa yang kami tinggali. Ah, tapi semoga jadi perantau Jawa saja, ya. Nusantara biar kami jelajahi dalam edisi travelling saja. (aamiin sepenuh hatiπŸ˜†) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nostalgia Dua Guru Bahasa

Makanan Favorit Sekitar Kampus Gajah

Ada di Setiap Hati yang Bersyukur #HappinessProject